Pada tahun 2025, Pengadilan Pajak mengeluarkan putusan yang menarik perhatian, mengakhiri sengketa panjang antara PT BB(Pemohon Banding) dan Direktur Jenderal Pajak (Terbanding). Kasus ini, yang terdaftar dengan Nomor PUT-003791.27/2022/PP/M.XVIB Tahun 2025 , berpusat pada sebuah nilai yang relatif kecil namun memiliki implikasi besar dalam administrasi perpajakan: koreksi Kredit Pajak Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 15 sebesar Rp97.163.945,00.
Cerita bermula dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Final Pasal 15 Masa Pajak Juli 2017. DJP, berdasarkan hasil pemeriksaan, tidak mengakui Kredit Pajak yang diajukan oleh PT BB. Alasannya jelas: tidak ada data pembayaran PPh Final Pasal 15 Masa Pajak Juli 2017 yang tercatat pada Sistem Informasi DJP dengan menggunakan NPWP Pusat perusahaan tersebut (03.287.328.3-063.000).
PT BB kemudian mengajukan keberatan, yang ditolak oleh DJP melalui Keputusan Nomor KEP-00018/KEB/PJ/WPJ.30/2022. Perusahaan ini bersikeras bahwa mereka telah memenuhi kewajiban pajaknya dengan benar , bahkan telah menyetorkan pajak sebesar Rp97.163.945,00 pada tanggal 10 Agustus 2017 dan melaporkannya pada 14 Agustus 2017.
Di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, PT BBmenyerahkan bukti penyetoran SSP (Surat Setoran Pajak) yang memiliki NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) dan BPE (Bukti Penerimaan Elektronik). Namun, inilah simpul utama dari sengketa: penyetoran SSP tersebut ternyata menggunakan NPWP Cabang PT BB (03.287.328.3-063.001), bukan NPWP Pusat.
PT BB berdalih bahwa pelaporan SPT telah dilakukan secara elektronik, dan secara mekanisme, pelaporan tidak mungkin dilakukan tanpa pembayaran terlebih dahulu.
Namun, fakta yang terungkap dalam persidangan memberikan pukulan telak:
Pengadilan Pajak, dalam pertimbangan hukumnya, berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar administrasi perpajakan. Majelis Hakim menilai bahwa, meskipun secara ekonomi merupakan satu entitas, kantor cabang dan kantor pusat merupakan entitas fiskal yang berbeda di mata hukum pajak.
Mengutip Pasal 1 angka 22 Undang-Undang KUP, Kredit Pajak adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Karena pembayaran dilakukan dengan NPWP Cabang, dan tidak ada mekanisme pemindahbukuan atau pemusatan kewajiban yang sah, maka pembayaran tersebut secara yuridis bukanlah kredit pajak untuk NPWP Pusat.
Sebagai konsekuensinya, Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak banding Pemohon Banding. Koreksi senilai Rp97.163.945,00 dipertahankan seluruhnya, dan jumlah PPh yang masih harus dibayar oleh PT BB ditetapkan sebesar Rp143.802.639,00 (termasuk sanksi administrasi).
Kisah PT BB ini menjadi pengingat yang sangat penting bagi dunia usaha di Indonesia:
Putusan ini menegaskan kembali bahwa kepatuhan formal dalam administrasi, sekecil apapun itu, adalah kunci untuk menghindari sengketa dan kerugian finansial yang signifikan.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini